Pages

Senin, 16 April 2012

Kedudukan Ro'yun dalam memahami Al-Qur'an

Ada beberapa hadits yang melarang menafsirkan al-Qur’an dengan ro’yi, dimana kata tersebut ditafsirkan dengan pikiran. Akibatnya, sebagian generasi muda Islam tidak mau memahami dan mendengarkan pemahaman al-Qur’an yang dihubungkan dengan pikiran atau ilmu pengetahuan, mereka tidak hanya menjauhkan diri dari tindakan tersebut melainkan juga menganggap sesat orang-orang Islam yang memahami al-Qur’an dengan landasan pikiran, ilmu pengetahuan dan filsafat.
Pada sisi lain, tidak jarang dijumpai, perintah Allah dalam al-Qur’an, agar memahami ayat-ayat Allah dengan akal dan ilmu pengetahuan. Mereka sangat mencintai ilmu pengetahuan, filsafat dalam berbagai bidang untuk memahami al-Qur’an mereka juga memiliki pemahaman bahwa pemahaman al-Qur’an tanpa ilmu pengetahuan atau pikiran akan menimbulkan kekeliruan, karena al-Qur’an itu sendiri merupakan informasi ilmu pengetahuan.
Generasi muda Islam yang tidak banyak mencurahkan perhatiannya pada bidang tersebut, akan mengalami kebingungan bilamana menerima dua informasi yang sifatnya bertentangan, sedangkan bagi mereka yang menerima satu sisi, akan memegang bendera yang diterimanya.
Perbedaan landasan dalam menggunakan pemikiran dalam memahami al-Qur’an, sebenarnya sudah terjadi dalam masa-masa awal, sesudah Rasulullah SAW meninggal dunia, bagi generasi muda Islam hari ini, perlu sekali membuka diri dan berpikir obyektif dalam menerima pemikiran tersebut, sehingga akan dapat memberikan penilaian secara obyektif.
Bersama ini disajikan alternatif pembahasan tentang penggunaan akal dan ro’yun dalam memahami al-Qur’an, barangkali dapat memberikan pemasukan atau tambahan data, sehingga dapat menghilangkan keraguannya.
PENGERTIAN RO’YUN
Prof. Mahmud Yunus mengartikan kata Ro’yun (…) pendapat, pikiran; dalam al-Qur’an tertulis pada surat (11:28, 63, 88), (41:52).
Dalil yang melarang penggunaan Ro’yun dalam memahami al-Qur’an sebagai berikut:
Sabda Rasulullah SAW : “Barangsiapa yang berdusta kepada saya dengan sengaja, maka ia akan dimasukkan (ke dalam) api neraka. Dan barangsiapa menafsirkan al-Qur’an dengan pikirannya sendiri maka ia akan dimasukkan api neraka”.

Dan Rasulullah SAW bersabda pula : “Barangsiapa menafsirkan al-Qur’an dengan pikirannya sendiri dan ternyata benar, maka ia telah bersalah”.
Pada hadits lain terdapat suatu riwayat yang membolehkan dalam menggunakan ro’yun sebagai landasan pemecahan masalah. Tertulis dalam buku Dienul Islam karangan Drs. Nasruddin Razak hal 107, terjadi dialog antara Nabi dengan sahabatnya bernama Mu’adz bin Jabal, ketika beliau akan mengangkatnya menjadi gubernur di Yaman : … Artinya :
  • Nabi : Bagaimana engkau akan memutuskan perkara yang dibawa orang kepadamu?
  • Mu’adz : Hamba akan memutuskan dengan Kitabullah (al-Qur’an)
  • Nabi : Dan jika dalam Kitabullah, engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?
  • Mu’adz : Jika begitu hamba akan memutuskan menurut Sunnah Rasul
  • Nabi : Jika engkau tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu pada Sunnah Rasul?
  • Mu’adz : Hamba akan menggunakan pertimbangan akal pikiran (Ajtahidu bil al ra’yi) tanpa bimbang sedikitpun
  • Nabi : Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menyebabkan utusan Rasul-Nya menyenangkan hati Rasulullah
(Hadits diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Abu Daud)
Belajar dari peristiwa Mu’adz bin Jabal bahwasanya dalam menetapkan hukum atas suatu masalah, landasan utamanya secara prinsip dasarnya ialah al-Qur’an dan Sunnah, apabila hal itu tidak dijumpai dibolehkan menggunakan pemikiran sendiri, apabila dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul terdapat landasan hukum, tentunya DIHARAMKAN MENGGUNAKAN PEMIKIRAN SENDIRI untuk menetapkan hukum, perbuatan tersebut sama dengan menolak hukum Allah. Itulah yang dikatakan PEMUJAAN AKAL PIKIRAN. Jadi penggunaan pemikiran sendiri dalam menetapkan masalah ada yang diwajibkan ada yang diharamkan. Prinsip yang diharamkan yaitu orang yang menggunakan hasil pemikiran sendiri untuk menilai atau menetapkan masalah sementara terdapat landasan umumnya, dalam istilah Islam dikenal dengan HAWA NAFSU/hasil pemikiran yang didasari oleh pertimbangan untung dan rugi bukan benar dan salah atau pemikiran yang didasari oleh data yang belum mencukupi.
Sedangkan pemikiran sendiri yang dibolehkan dan dapat memberikan manfaat dalam berbagai hal, seperti yang dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal ialah penggunaan pemikiran dalam memahami sesuatu dengan bersandar pada hukum umum atau mengikuti ketentuan-ketentuan terhadap masalah yang dipahami, dikenal dengan istilah PEMIKIRAN OBYEKTIF, dalam Islam dikenal dengan nama ULUL ALBAB atau orang-orang yang menggunakan akalnya.
Untuk memudahkan perbedaan antara pemikiran sendiri yang bersifat subyektif dan obyektif dapat mengamati kasus di bawah ini : Ketika terjadi gerhana bulan, sebagian penduduk pedalaman mencoba menganalisa faktor-faktor yang menyebabkan perubahan bulan dari terang menjadi gelap, berakhir kepada kesimpulan bahwa perubahan tersebut diakibatkan oleh penunggu bulan marah terhadap penduduk tertentu sehingga ia menggenggamnya untuk sementara waktu, sampai penduduk yang berdosa itu kembali menyesali perbuatannya. Atau pemikiran seorang ibu yang dinyatakan kepada anaknya yang terserang penyakit perut disebabkan karena tidak minta izin pada waktu berangkat sekolah. Sedangkan penduduk perkotaan menyimpulkan pemikirannya bahwa peristiwa gerhana adalah akibat matahari, bumi dan bulan berada dalam satu garis edar sehingga cahaya matahari tertutup bumi, akibatnya bulan tidak memantulkan cahaya. Kedua pemikiran tersebut sebenarnya semuanya adalah hasil pemikiran, pada pemikiran pertama ialah pemikiran yang memahami gerhana matahari tidak berpijak pada fakta yang diamati, tapi berpijak pada dugaan-dugaan tanpa didasari ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan gerhana, inilah yang dikenal dengan pemikiran subyektif, sedangkan pemikiran kedua, ia berpijak pada landasan pengetahuan tentang gerhana dan menggunakan penelitian secara langsung dengan menggunakan teknologi yang ada, pikiran tersebut dikatakan pemikiran obyektif.
Dari landasan pemikiran ini kita akan dapat memahami maksud Rasul tentang larangan menggunakan Ro’yun untuk menafsirkan al-Qur’an, ialah usaha menafsirkan al-Qur’an, tidak didasari oleh pertimbangan ilmu pengetahuan dan sarana-sarana yang dibutuhkan, melainkan hanya dugaan atau perkiraan yang hanya didorong oleh kemauan, perasaan atau pengalaman pribadinya yang tidak ada hubungannya dengan ayat Allah yang akan dipahami. Kasus ini pernah diangkat dalam al-Qur’an surat 10:36 (sangkaan)
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan” (QS 10:36)
QS 10:68 (tanpa alasan dari ilmu pengetahuan)
“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: Allah mempunyai anak. Maha Suci Allah, Dialah yang Maha Kaya kepunyaannya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS 10:68)
QS 45:23-25 (mengikuti hawa nafsu)
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat) maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran” (QS 45:23)
Jadi Ro’yun yang dimaksudkan pada hadits tersebut bukan pemikiran obyektif pemikiran yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan pembuktian secara EMPIRIS yang seharusnya diwajibkan dalam menafsirkan al-Qur’an dengan dalil 30:28-30; 17:36; 3:190-191.
“Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri …demikianlah kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal (QS 30:28).
“Tapi orang-orang yang dzalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan” (QS. 30:29).
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada Din hanif (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) Dinul Qoyyim tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. 30:30).
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang. Sesungguhnya pendengaran penglihatan dan fuaad, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS 17:36).
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulul Albab)” (QS.3:190).
“yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : “Ya Tuhan kami tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. 3:191).
Kalau diperhatikan dalil-dalil (alasan-alasan) ulama yang tidak membolehkan penggunaan pemikiran dalam menafsirkan al-Qur’an, mereka tidak membedakan dua kualitas pada suatu pemikiran.
Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuni seorang guru besar pada fakultas Syariah dan Dirasat Makkah Al Mukarromah dalam bukunya Ulumul Qur’an yang telah dibahasa Indonesiakan oleh Saiful Islam Jamaluddin bahwa larangan penggunaan pemikiran secara umum dalam menafsirkan al-Qur’an hanya diikuti oleh sekelompok ulama. Sedangkan yang membolehkan penggunaan pemikiran dengan syarat tertentu merupakan pendapat Jumhurul Ulama’.
Beliau telah mengemukakan pandangan beberapa ulama diantaranya ialah :
1. Imam Ghazali
Ia berkata dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” sebagai berikut : Sesungguhnya pada penelitian makna-makna al-Qur’an itu terdapat lapangan yang lapang, luas dan obyektif, jika penafsiran dengan riwayat saja, belum bisa menjangkau puncak pengetahuan yang dikandungnya, maka dengan demikian batallah bila penafsiran hanya cukup dengan syarat pendengaran saja, oleh karena itu boleh bagi setiap person mengambil istimbath dari al-Qur’an menurut kemampuan pengertiannya dan batas pemikirannya.
2. Imam Al Qurtubhie
Al Allamah Al Qurtubhie berkata dalam kitab tafsirnya Al Jami’li Ahkamil Qur’an : Sebagian ulama berkata : bahwa tafsir itu berhenti sampai pada pendengaran, saja karena firman Allah surat An Nisa :
Artinya : “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikan ia kepada Allah dan Rasulnya” (Al-Qur’an dan Sunnah).
Pendapat ini adalah batil, bila dimaksudkan bahwa tidak boleh bagi siapa saja menafsirkan al-Qur’an kecuali dengan apa yang diriwayatkan, sebab para sahabat sendiri telah membaca al-Qur’an dan berikhtilaf (berbeda-beda) dalam penafsirannya, dan tidak semua apa yang dikatakan mereka itu mendengar dari Nabi SAW.
Sesungguhnya Nabi SAW telah mendo’akan Ibnu Abbas sebagaimana sabdanya :
Artinya : Ya Allah berilah dia pengertian tentang agama dan ajarkan kepadanya takwilnya. Jika penakwilan terhadap al-Qur’an itu hanya sebatas yang didengar dari Rasul-Nya saja, lalu apa artinya nabi mendo’akan kepada Ibnu Abbas tentang kemampuan menakwilkan al-Qur’an. Kemudian Imam Qurtubhie berkata : Adapun larangan dalam hal ini adalah menyangkut salah satu dari dua segi :
Pertama : manakala seseorang dalam suatu hal mempunyai pendapat yang didukung oleh watak dan hawa nafsu, kemudian dia menggunakan al-Qur’an sebagai dasar untuk menguatkan pendapat dan hawa nafsunya.
Kedua : manakala seseorang menafsirkan al-Qur’an dengan hanya melihat segi lahirnya bahasa arab saja, mempertimbangkan dasar Naql, dan mendengarkan dalam sesuatu yang berhubungan dengan Gharabul Qur’an dan sesuatu yang ada didalamnya berupa hadzf, idlmar dan taqdim atau takhir. Coba renungkan ayat Allah di bawah ini :
“Dan Kami berikan kepada Tsamud Unta, sebagai keterangan tetapi mereka menganiaya …” (QS. Al Isra’ ayat 59)
Arti sebenarnya ialah : Dan kami telah berikan kepada Tsamud Onta betina sebagai mukjizat yang dapat dilihat dengan jelas dan ayat-ayat yang terang, namun meeka menganiaya unta betina dengan membantai dan memotong-motongnya. Bagi penafsir yang hanya memandang pada lahir dari segi bahasa arab akan mengira, bahwa Onta betina itulah yang melihat, dan tidak tahu terhadap apa yang mereka aniayakan. Pada ayat itu terdapat Al Hadzfu dan idlmar, contoh semacam ini dalam al-Qur’an banyak sekali.
3. Asy Sayuthi
Sebelum mengangkat pendapat As Sayuthie, Mohammad Ali Ash Shabunie memberikan pengantar hadits yang berbunyi :
Artinya : “Barangsiapa menafsirkan al-Qur’an tanpa dasar ilmu pengetahuan, maka silahkan memasuki tempatnya yang telah tersedia dari api neraka”.
As Sayuthie menolaknya dengan lima dasar dalil, ia berkata bahwa ada lima tipe yang tidak termasuk kategori penafsiran dengan ijtihad ialah :
  1. Penafsiran yang tidak didasarkan atas ilmu-ilmu pengetahuan yang telah ditetapkan sebagai syarat.
  2. Tafsir ayat-ayat yang mutasyabih yang tidak diketahui kecuali oleh Allah SWT.
  3. Tafsir yang telah ditentukan oleh bagi madzhabnya dijadikan pangkal pokok dan tafsirnya sebagai ikutannya.
  4. Memutuskan secara pasti, bahwa Alah bermaksud begini tanpa berdasarkan dalil.
  5. Tafsir dengan istihsan dan hawa nafsu.
KITAB-KITAB TAFSIR BIR RA’YI YANG TERKENAL
  1. Manfaatiehul Ghaib oleh Muhammad bin Umar bin Al Husein ar Razie. Beliau wafat pada tahun 606 H, dikenal dengan Tafsir Ar Razie.
  2. Anwaaruttanziel wa asraaruta’wiel oleh Abdullah bin Umar Al Baidhowie, wafat pada tahun 686 H, yang dikenal dengan Tafsir Al Baidhowie.
  3. Lubabutta’wil fie ma’anieetanziel oleh Abdullah bin Muhammad yang dikenal dengan al Khazin, wafat pada tahun 741 H kitabnya dikenal dengan Tafsir al Khazin.
  4. Madariuttanziel wa haqoo’iqutta’wiel oleh Abdullah bin Ahmad an Nasfie wafat pada tahun 701 H, yang dikenal dengan Tafsir An Nasfie.
  5. Gharaibul Qur’an wa Ragha’ibul furqoon oleh Nidhaa muddhien al Hassan Muhammad an Neisaburie, wafat pada tahun 728 H yang dikenal dengan tafsir an Neisabunie.
Dan masih banyak lagi diantaranya Tafsir Abi As Sa’ud, Tafsir Abi Hayyan, Tafsir Al Alusie, Tafsir al Khatieb, dan Tafsir Jalalain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar